Kau memang lebih baik mati dan lenyap. Menghilang dari hadapanku. Sebab hidup dan segala cerita tentangmu adalah pula sebuah catatan hitam dan kisah yang tak indah tentang aku. Bilamana kau pahami waktu dan berkaca pada usia yang semakin laju?
Mengapa bukan cerita streotipe mereka yang juga kunikmati?
Mengapa mesti sosok sepertimu yang harus pula kuhormati?!
Sebuah Catatan Usang dan Tak Bernama
Sedikit ingatan yang tertinggal diantara seribu mozaik yang mengitari
Minggu, 23 September 2012
Selasa, 24 April 2012
Mungkin
Dia buru-buru mengeluarkan motor menuju halaman rumah.
Menyalakan mesin dan bergegas pergi. Sudah menjelang maghrib, dan hujan belum
juga reda. Malah kian deras saja curahnya.
“Sebegitu pentingnya ya, hingga harus memaksakan diri menerobos kelebat hujan begini?”
aku membatin sendiri di tepi pintu.
Iya. Meskipun tanpa lisan, namun dalam hati aku selalu
membanding-bandingkan, dia rela pergi menerobos hujan untuk hal yang sama
sekali tidak penting sore ini. Tapi penantianku sia-sia, mengingat kemarin
lalu. Seminggu lamanya aku terbaring di rumah pesakitan. Tapi tak ada satu
haripun diantara hari itu, aku melihat wajahnya hadir diantara para penjenguk. Hmm,
ya tapi mungkin basi juga sih, ini bukan kali petama aku menginap di tempat
mengerikan itu. Bukan kali pertama juga menginjakkan kaki untuk check ini-itu.
Dan sudah jelas, bukan kali pertama menghadapi dinginnya meja operasi.
Jadi apa
dia juga menganggap ini mungkin sebagai satu tontonan, yang kalau sudah dilihat
sekali, untuk apa pula dilihat lagi? Aku tak mengharapkan pertanyaan ”Lagi mau
apa? Mau makan apa?”, sekedar saja dia muncul di ruangan itu, sudah lebih dari
cukup bagiku. Tapi, ah, sudahlah. Mungkin dia terlalu sibuk dengan urusannya
yang menurutku sama sekali tidak penting itu. Atau mungkin… Mungkin… Mungkin…
Ya,
mungkin.
Angin Beranjak Pelan Ke Selatan
How the winds are
laughing
They laugh with all
their might
Laugh and laugh the
whole day through
And half the summer's night….
Joan Baez -
Donna Donna
Untuk
beberapa saat aku merasa diperlakukan sesuka hati oleh semua hal di sekelilingku. Samar-samar
seorang perempuan setengah baya berseragam putih berulang kali memanggil namaku. Selang
beberapa menit kemudian dia menutup wajahku dengan selembar kain tipis yang
sedikit basah. Aku tak mengerti situasi apa ini, sekujur tubuhku mengambang,
tak dapat bergerak sama sekali. Sedikit mungkin yang masih dapat kugerakkan
adalah bola mataku. Lamat-lamat aku bisa melihat sekitar. Itu tidak bertahan
lama. Hanya sekian detik, kemudian aku pejam kembali. Begitu terus hingga
mataku lelah.
Aku sebenarnya ingin banyak tanya, tapi apa daya ujung
jemari pun tak dapat kugerakkan meski sejenak.
Ada apa ini…?
Perlahan sekali terasa laju gerak, kaku tanpa dayaku
sendiri. Akhirnya aku meninggalkan ruang itu. Suara orang-orang kian ramai. Berbicara ini –
itu. Dan masih. Tak bisa kutangkap jelas artinya.
Aku sebenarnya tak ingin menangis, namun cairan bening itu
seperti kehilangan muaranya. Mengalir tanpa permisi sang empunya mata.
How the winds are
laughing
They laugh with all
their might
Laugh and laugh the
whole day through
And half the summer's
night….
Selasa, 17 April 2012
Dalam Gelap Sekalipun
Suatu ketika di hari Rabu, sebuah mata kuliah yang selalu
membuatku selalu melangkah cepat menuju kampus. Hari itu dosen meminta kami
menggambar “pemandangan”.
“Pemandangan yang bagaimana?” kami bertanya
: Bahkan dalam gelap sekalipun, pasti ada seberkas cahaya terang
Cahaya itu adalah HARAPAN
Harapan yang akan menerangi gelap, sepekat papun itu.
“Pemandangan yang bagaimana?” kami bertanya
Dosen tak menjawab.
Aku mulai mencoret-coretkan pensil ke selembar kertas.
Menggambar rumah.
Tapi ah, dosen itu sepertinya bukan tipikal yang “biasa”
Tapi ah, dosen itu sepertinya bukan tipikal yang “biasa”
“Apa menariknya gambar rumah ini…?” aku mulai
menimbang-nimbang
Akhirnya
kuhitamkan seluruh bagian kertas. Nyaris benar-benar hitam.: Bahkan dalam gelap sekalipun, pasti ada seberkas cahaya terang
Cahaya itu adalah HARAPAN
Harapan yang akan menerangi gelap, sepekat papun itu.
Percakapan Sebelum Hitam
“Kelas berapa?”
“Sudah kuliah”
“Oh ya?”
Aku tersenyum saja.
“Semester?”
“Delapan”
“Wah, sebentar lagi ya..”
Lagi. Aku tersenyum saja.
Seorang lagi datang dan lantas menyalakan lampu yang berada
satu meter di atas kepalaku. Besar sekali. Ada dua belas
lampu yang kemudian menerpa sekujur tubuh.
“Ambil jurusan apa?”
“Bahasa..”
“Oh.. Hmm, sebentar ya. Ini mungkin sedikit sakit. Jangan
dilihat…”
Aku meringis. Lenganku sedikit perih.
Beberapa orang lagi masuk ke dalam ruangan.
Bicara.
Apa yang mereka bicarakan?
Mendekat.
Mereka mendekat padaku. Mengelilingiku.
Mereka mendekat padaku. Mengelilingiku.
Mereka bicara lagi. Ah, entah apa yang dibicarakan… Suaranya
semakin mendengung dan tidak jelas. Dan mereka bertambah banyak. Ada apa ini,
mereka semakin banyak. Banyak sekali. Ah, pandanganku kabur… kabur…
Lantas
hitam.
Langganan:
Postingan (Atom)